Ini Makna Mendalam di Balik Nama Pura Pertama di Belanda Di negeri yang terkenal dengan bunga tulip dan kanal-kanal indahnya, berdiri sebuah pura Hindu yang begitu kental dengan nuansa Bali. Pura ini bukan sekadar bangunan tempat ibadah, tetapi simbol eksistensi budaya Nusantara di tanah Eropa. Namanya Pura Agung Dwijendra, pura Hindu pertama yang berdiri secara resmi di Belanda. Tapi, tahukah kamu bahwa di balik nama tersebut tersimpan makna spiritual dan filosofis yang dalam?
Pura Hindu Pertama di Belanda: Sebuah Awal dari Jejak Budaya Bali di Eropa
Sejarah dan Latar Belakang Berdirinya Pura Belanda
Komunitas Hindu Bali di Belanda mulai terbentuk sejak gelombang migrasi WNI ke Eropa pada tahun 1980-an. Banyak di antara mereka berasal dari Bali dan Lombok. Selama bertahun-tahun, kebutuhan untuk memiliki tempat ibadah sendiri kian mendesak. Ritual keagamaan hanya bisa dilakukan secara terbatas di rumah masing-masing.
Tahun 2002 menjadi momen penting ketika ide pembangunan pura secara resmi dimulai. Setelah melewati proses panjang, akhirnya berdirilah Pura Agung Dwijendra di kota Lelystad, Provinsi Flevoland. Pura ini resmi digunakan sejak tahun 2004.
Mengapa Dinamakan Dwijendra?
Nama “Dwijendra” diambil dari tokoh suci Dang Hyang Dwijendra, seorang pendeta asal Jawa yang menyebarkan agama Hindu ke Bali dan Lombok pada abad ke-16. Di Bali, beliau dikenal sebagai Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh dan dianggap sebagai leluhur para sulinggih atau pendeta Hindu Bali.
Pemilihan nama ini bukan hanya bentuk penghormatan terhadap tokoh spiritual, tapi juga simbol penyebaran ajaran suci lintas pulau dan sekarang, bahkan lintas benua. Filosofinya adalah menjaga api spiritual tetap menyala di manapun umat berada.
Arsitektur Bali di Tengah Negeri Belanda
Desain Sesuai Asta Kosala-Kosali
Meski berdiri di Belanda, tata letak dan desain pura ini tetap mengikuti aturan arsitektur tradisional Bali yang disebut Asta Kosala-Kosali. Pura dibagi menjadi tiga zona suci: Nista Mandala (luar), Madya Mandala (tengah), dan Utama Mandala (dalam).
Setiap zona memiliki fungsi dan kesuciannya masing-masing. Pada zona utama berdiri Padmasana, sebagai tempat pemujaan utama kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Elemen Khas Bali yang Diadopsi
Beberapa elemen penting dalam pura ini antara lain:
- Candi Bentar sebagai gerbang utama
- Bale Pesandekan untuk tempat persiapan sembahyang
- Meru sebagai pelinggih bertingkat
- Altar untuk Dewi Saraswati, Ganesha, dan Tri Murti
Bahan-bahan seperti batu paras, ukiran kayu, dan ornamen tradisional banyak didatangkan langsung dari Bali. Beberapa seniman ukir bahkan diterbangkan ke Belanda untuk memastikan keaslian estetika Bali tetap terjaga.
Fungsi Pura di Tengah Komunitas Hindu di Eropa
Pusat Aktivitas Keagamaan
Pura Agung Dwijendra tidak hanya digunakan oleh umat Hindu asal Indonesia. Umat dari Suriname, India, bahkan Belanda pun ikut merayakan hari-hari besar seperti:
- Hari Raya Galungan dan Kuningan
- Saraswati
- Pagerwesi
- Nyepi
Setiap upacara selalu dipenuhi oleh umat lintas generasi, dari anak-anak hingga lansia. Aroma dupa, kidung suci, dan denting gamelan menjadi pemandangan spiritual yang unik di tengah lingkungan Eropa modern.
Belanda Tempat Pelestarian Budaya Bali
Selain fungsi ibadah, pura ini juga menjadi pusat pelestarian budaya Bali. Di akhir pekan, diadakan:
- Kelas tari tradisional (Tari Pendet, Tari Rejang)
- Pelajaran gamelan Bali
- Kelas bahasa dan aksara Bali
- Workshop membuat canang dan gebogan
Hal ini menjadi upaya nyata dalam menghidupkan identitas budaya di kalangan anak-anak diaspora Indonesia.
Penerimaan Masyarakat Lokal Belanda
Harmoni antarbudaya di Lelystad
Kehadiran Pura Agung Dwijendra justru mendapat sambutan hangat dari warga lokal. Pihak pemerintah kota Lelystad mengakui peran penting pura dalam menciptakan kehidupan masyarakat multikultural yang harmonis.
Warga Belanda yang tinggal di sekitar pura sering diajak untuk ikut menyaksikan upacara, makan bersama dalam tradisi megibung, dan belajar tentang filosofi Tri Hita Karana.
Tantangan dan Adaptasi
Tentu tidak semua berjalan mulus. Tantangan utama adalah menjaga kesakralan pura dalam konteks negara sekuler. Misalnya:
- Menyesuaikan suara gamelan agar tidak mengganggu tetangga
- Mengatur waktu upacara agar sesuai dengan izin kegiatan
- Menjaga pakaian adat Bali tetap sesuai dengan cuaca Eropa
Namun semua tantangan ini dijawab dengan kearifan lokal dan budaya dialog yang ditunjukkan komunitas Hindu Bali.
Makna Mendalam: Simbol Spiritualitas Nusantara yang Mendunia
Simbol Identitas dan Pengingat Asal-Usul
Bagi banyak diaspora Bali di Eropa, pura ini adalah jangkar spiritual. Ia menjadi pengingat bahwa meski tinggal jauh dari tanah kelahiran, mereka tetap memiliki akar budaya dan agama yang kuat.
Nilai-nilai seperti karma phala (hukum sebab-akibat), tat twam asi (kita semua satu), hingga upacara yadnya tetap dijalankan sebagaimana mestinya.
Diplomasi Budaya Indonesia yang Efektif
Keberadaan pura ini juga menjadi alat diplomasi budaya Indonesia. Tidak sedikit turis Belanda yang tertarik mendalami spiritualitas Bali setelah mengunjungi pura ini.
Bahkan, beberapa mahasiswa Belanda melakukan riset skripsi tentang konsep “desa kala patra” dan “rwa bhineda”, menunjukkan bahwa nilai-nilai Hindu Bali mulai mendapat tempat dalam kajian akademik Eropa.
Pura Dwijendra Adalah Bali yang Menjelma di Negeri Orang
Pura Agung Dwijendra bukan sekadar bangunan religi, tapi manifestasi hidup dari kebudayaan Bali yang menjelajah lintas benua. Ia membuktikan bahwa warisan leluhur bisa tetap lestari, bahkan di tengah peradaban Barat yang serba modern.
Nama “Dwijendra” bukan hanya penghormatan terhadap tokoh spiritual, tetapi juga lambang transmisi nilai-nilai suci, daya tahan budaya, dan semangat adaptasi diaspora Bali.
Dan inilah yang membuat pura ini “Bali banget” — bukan hanya karena arsitekturnya, tapi karena jiwanya yang tetap teguh membawa spirit Nusantara, sejauh apapun ia merantau.